Usaid Bin Hudhair Ra
Usaid bin Hudhair bin Sammak adalah seorang sahabat Anshar dari suku Aus. Ia salah seorang bangsawan dan pemimpin kaum yang mempunyai keahlian memanah. Ia juga dikenal dengan nama al Kamil (sempurna) karena kecemerlangan otaknya dan keluhuran akhlaknya. Sifat ini diwarisinya dari ayahnya Hudhalir Kata'ib yang merupakan bangsawan dan pemimpin yang disegani di masa jahiliah. Ia memeluk Islam ketika Nabi SAW belum lagi berhijrah ke Madinah. Dalam cahaya dan didikan Islam, makin memuncaklah kemuliaan akhlaknya dan makin meningkat martabatnya karena bimbingan wahyu dari langit.
Ketika Mush'ab bin Umair, sahabat muhajirin yang menjadi duta sekaligus muballigh pertama di Kota Madinah, sedang mendakwahkan Islam kepada penduduk Madinah didampingi oleh As'ad bin Zurarah, beberapa orang pemuka kabilah di Madinah menjadi ‘gerah’ termasuk Sa'd bin Mu'adz. Sa’d tidak senang dengan aktivitas mereka berdua mempengaruhi kaumnya meninggalkan agama nenek moyangnya, tetapi ia merasa tidak enak dengan As’ad yang masih saudara dekatnya itu. As’ad bin Zurarah adalah salah satu dari enam pemuda Yatsrib yang pertama memeluk Islam, dan menjadi pioner penyebaran Islam di kotanya itu.
Suatu ketika Sa’d bertemu dengan Usaid bin Hudhair dan menyampaikan unek-uneknya. Ia meminta tolong Usaid untuk memperingatkan dan menghalangi dua orang itu ‘memurtadkan’ kaumnya. Tampaknya Usaid sependapat, maka ia menyanggupinya. Ia mengambil tombaknya dan mendatangi mereka berdua yang sedang berada di kebun bani Zhafar di dekat telaga yang disebut Maraq. Ketika telah berada di depannya, Usaid berkata setengah mengancam, "Apa yang membawa kalian kemari? Kalian memperbodoh orang-orang yang lemah di antara kami, jauhilah kami jika kalian masih ingin hidup lebih lama lagi!!"
Mush'ab memang dipilih Rasulullah SAW sendiri ketika diberangkatkan ke Madinah, tentunya dengan pertimbangan dan pengamatan yang sangat matang, walau usianya masih cukup muda. Dengan lembut Mush’ab berkata diplomatis, "Maukah kamu duduk mendengarkan? Jika kamu senang akan sesuatu hal, engkau bisa menerima atau mengabaikannya. Dan jika kau tidak menyukai sesuatu hal, tolaklah hal itu, dan aku akan meninggalkan kalian!!”
"Baiklah, kesepakatan yang adil," Kata Usaid.
Ia menancapkan tombaknya ke tanah dan duduk bersama mereka. Mush'ab-pun mulai menceritakan tentang Islam danmembacakan beberapa ayat Al Qur'an. Tampak sekali sekali Usaid tertarik, matanya bercahaya dan perkataannya menjadi lembut. Ia memang seorang yang cerdas, dan sebelumnya mendapat pendidikan akhlak yang sangat baik sehingga dengan mudah ia menerima kebenaran yang disampaikan Mush’ab. Ia berkata, "Alangkah indah dan baiknya ajaran ini, apakah yang harus aku lakukan jika aku ingin memasuki agama ini?"
Mush’ab bin Umair "Hendaknya engkau mandi dan bersuci, bersihkanlah kedua pakaianmu, kemudian bersyahadatlah dengan syahadat yang sebenarnya, lalu berdirilah melakukan shalat dua rakaat."
Usaid beranjak pergi melakukan perintah tersebut dengan dibimbing Mush'ab bin Umair dan As'ad bin Zurarah, sehingga jadilah ia seorang muslim. Kehendak Allah ketika melimpahkan hidayah-Nya memang tidak bisa diperkirakan. Niat Usaid semula adalah untuk menghentikan aktivitas Mush'ab dan As'ad dalam mendakwahkan Islam di Madinah, sehingga mungkin sepantasnya jika dia ditimpa musibah atas niat buruknya tersebut. Tetapi yang terjadi adalah kebalikannya, justru Allah menjadikan niatnya tersebut sebagai jalan terbukanya hidayah dan jalan kebaikan bagi dirinya.
Setelah merasakan ‘sejuknya’ menjadi seorang muslim, Usaid berkeinginan menarik Sa'd bin Mu'adz kepada Islam. Bagaimanapun juga Sa'd memiliki andil atas hidayahyang diterimanya ini. Ia sangat mengenal kepribadian Sa’d, kalau saja ada kesempatan ia mendengar tentang Islam, pastilah ia akan memeluknya tanpa ragu-ragu lagi. Tetapi sikap penolakan dan permusuhan yang telah tertanam di hati, membuatnya tidak mudah menyuruh atau merayu Sa'd menemui Mush'ab dan As'ad untuk bisa mendengarkan penjelasan tentang Islam.
Setelah beberapa saat berfikir, ia memperoleh jalan keluarnya. Ia akan bersiasat, yang dengan siasatnya itu pastilah Sa’d akan menemui As’ad. Ia berkata kepada Mush'ab dan As'ad, "Sesungguhnya di belakangku ada seorang lelaki (yaitu Sa'd bin Mu'adz), jika ia mengikuti kalian berdua, maka kaumnya tidak akan ada yang ketinggalan memeluk Islam. Aku akan bersiasat agar ia mau menemui kalian."
Usaid berlalu pergi menemui menemui Sa'd yang berada di antara kaumnya. Melihat kehadiran Usaid, Sa’d berkata, “Sungguh Usaid datang dengan air muka yang sangat berlainan dengan saat dia meninggalkan kita!!”
Setelah tiba, Usaid langsung berkata, "Wahai Sa'd, aku telah berbicara pada mereka berdua, dan aku tidak melihat ancaman apapun dari mereka. Dan telah kusampaikan apa yang kau inginkan, tetapi mereka berkata 'Lalukan saja apa yang kamu suka!!' Tetapi aku mendengar berita selentingan kalau bani Haritsah bermaksud membunuh As'ad karena tahu dia adalah anak bibimu. Saat ini mereka sedang menuju tempatnya, sepertinya mereka meremehkan dirimu!!"
Mendengar kabar ini, Sa'd menjadi marah dan sekaligus khawatir atas keselamatan As'ad. Terlepas bahwa ia tidak suka aktivitasnya, tetapi ikatan kekeluargaan di antara mereka begitu kuat. Ia mengambil tombaknya dan beranjak menemui Mush'ab dan As'ad. Melihat siasatnya berhasil, Usaid menjadi gembira, ia yakin Sa'd akan berubah pikiran setelah mendengar penjelasan Mush'ab tentang Islam seperti dirinya, dan dugaannyamemang benar. Sa'd memeluk Islam di saat itu juga, dan ketika ia mendakwahi kaumnya, sebelum petang di hari itu, seluruh bani Abdul Asyhal telahmengikuti Sa'd memeluk Islam.
Peristiwa tersebut terjadi setelah Bai'atul Aqabah pertama. Ketika datang musim haji berikutnya, dibentuklah rombongan untuk menghadap Nabi SAW di Makkah. Usaid ikut serta di dalamnya, ia ingin mengokohkan bai'atnya di hadapan Nabi SAW. Dalam pertemuan yang dikenal dengan nama Bai'atul Aqabah kedua tersebut, Nabi SAW memilihnya sebagai salah satu dari duabelas pemimpin yang bertanggung jawab atas dakwah dan pelaksanaan ajaran Islam di kaumnya.
Seperti kebanyakan sahabat Anshar lainnya, baik dari kalangan pemuka atau anggota biasa, Usaid selalu membaktikan hidupnya untuk membela Nabi SAW dan panji-panji Islam. Setiap pertempuran bersama Rasulullah SAW diterjuninya. Sifat "kamil"-nya tak pernah terlepas dari kepribadiannya walau dalam situasi yang mengancam jiwa dalam peperangan. Bahkan terkadang bisa menentramkan suasana, seperti yang terjadi pada perang Bani Musthaliq.
Pada pertempuran tersebut, kaum munafik yang dipimpin Abdullah bin Ubay ikut serta, dan dalam perjalanan pulang, ia mengatakan sesuatu perkataan yang menyakiti Nabi SAW. Zaid bin Arqam mendengar perkataannya tersebut, melaporkannya kepada Nabi SAW lewat pamannya. Nabi SAW yang sebenarnya sedang beristirahat segera memberangkatkan pasukannya untuk terus kembali ke Madinah. Melihat keputusan Nabi SAW ini, Usaid menemui beliau dan berkata, "Wahai Rasulullah, tidak biasanya engkau berangkat pada saat seperti ini…!!"
Nabi SAW bersabda, "Apa engkau belum mendengar apa yang dikatakan rekanmu (yakni, Abdullah bin Ubay) ?"
"Apa yang dikatakannya, Ya Rasulullah?"
"Ia mengatakan : Jika kita kembali ke Madinah, penduduknya yang mulia (yakni penduduk Madinah), benar-benar akan mengusir penduduknya yang hina (maksudnya Nabi SAW dan kaum muhajirin)…!!"
Jiwa pembelaannya atas Nabi SAW dan Islam muncul, tetapi tanpa makin memanaskan suasana. Usaid berkata, "Wahai Rasulullah, engkau bisa mengusirnya dari Madinah menurut kehendak engkau. Demi Allah, memang dia adalah orang yang hina dan engkau adalah orang yang mulia…!!"
Dengan perkataannya ini seolah Usaid ingin menegaskan bahwa ia dan kaumnya dari Suku Aus berdiri di belakang Nabi SAW, kemudian ia berkata lagi, "Tetapi, wahai Rasulullah, bersikaplah yang lembut terhadap dirinya. Demi Allah, Allah telah mendatangkan engkaukepada kami, padahal penduduk Madinah telah menyiapkan mahkota untuk disematkan di kepalanya. Karena itu ia merasa engkau telah merampas kerajaan dari tangannya….!!"
Nabi SAW memahami apa yang disampaikan oleh Usaid. Beliau menggerakkan pasukan untuk terus berjalan ke Madinah. Bahkan ketika malam tiba-pun beliau tidak menghentikannya, sehingga ketika tiba waktu istirahat, para anggota pasukan tersebut langsung tertidur, tidak ada kesempatan membicarakan perkataan Abdullah bin Ubay.
Salah satu keistimewaan Usaid bin Hudhair adalah suaranya ketika melantunkan Al Qur'an, para sahabat sangat senang mendengarkannya. Menurut mereka, mendengar alunan suaranya membaca Al Qur'an tersebut lebih disenanginya daripada memperoleh ghanimah (harta rampasan perang). Suaranya lembut dan khusyu', mempesona dan dapat menentramkan jiwa.
Suatu malam Usaid bin Hudhair membaca surah Al Baqarah, tiba-tiba kudanya yang diikat tak jauh darinya bergejolak. Ketika ia berhenti membaca, kuda itu menjadi tenang. Ia mencoba membacanya lagi dan kuda itu kembali bergejolak, dan ketika ia berhenti membaca, kuda itu menjadi tenang.Beberapa kali mengulang membaca, peristiwa itu berulang terjadi, sampai ia menyadari bahwa gejolak kudanya itubisa membahayakan Yahya, anaknya yang tidur tidak jauh darinya. Ia menarik anaknya menjauh dan kepalanya tengadah ke langit, ia melihat ada sekelompok awan yang di dalamnya ada seperti lampu-lampu yang bercahaya bergerak menjauh ke atas sampai hilang dari pandangan.
Pagi harinya ia menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada Nabi SAW, dan beliau bersabda, "Bacalah hai Ibnu Hudhair, bacalah hai Ibnu Hudhair!!"
Usaid bin Hudhair menjelaskan bahwa ia mengkhawatirkan keselamatan anaknya karena gejolak kuda yang tidak terkendali ketika ia membaca surah Al Baqarah. Sambil tersenyum, Nabi SAW bersabda, "Tahukah kamu, yang tampak seperti awan tersebut adalah malaikat yang mendekat karena ingin mendengarkan suaramu melantunkan Al Qur'an. Seandainya kamu terus membacanya, niscaya manusia akan bisa melihat malaikat tersebut, tidak tertutup dari mereka."
Usaid bin Hudhair wafat pada Bulan Sya’ban tahun 20 hijriah, yakni pada masa khalifah Umar bin Khaththab. Jenazahnya di makamkan di Baqi, dan Umar sendiri yang turun ke kuburnya untuk memakamkannya.