Thalhah Bin Ubaidillah Ra
Thalhah bin Ubaidillah masih mempunyai garis keturunan yang bersambung dengan Rasulullah SAW, yakni pada Murrah bin Ka’ab, enam atau tujuh generasi di atas beliau. Ketika ia sedang berdagang di pasar Bushra, Syam, ada seseorang yang diutus oleh seorang rahib untuk mencari-cari orang yang datang dari tanah haram (Makkah). Thalhah menyatakan dirinya dari Makkah, dan ia diajak menemui rahib yang beragama Nashrani itu di biaranya. Sang Rahib bertanya kepadanya, "Apakah Ahmad telah muncul?"
"Siapakah Ahmad?" Thalhah balik bertanya kepada rahib itu.
"Beliau adalah putra Abdullah bin Abdul Muthalib, bulan ini adalah bulan dimana ia akan muncul sebagai Nabi terakhir. Tempat munculnya adalah tanah haram, dan tempat hijrahnya adalah daerah yang banyak ditumbuhi pohon kurma, banyak batu hitam dan tanahnya sangat asin sehingga jarang ditumbuhi pepohonan. Hendaknya engkau bersegera menyambutnya…!"
Perkataan rahib ini sangat berkesan di hatinya, sehingga ia memutuskan untuk segera pulang ke Makkah. Sesampainya di Makkah, ia bertanya kepada orang-orang tentang peristiwa yang baru saja terjadi, mereka berkata, "Muhammad bin Abdullah telah menyatakan dirinya sebagai Nabi, dan Abu Bakar bin Abu Quhafah telah mengikuti ajarannya…"
Thalhah segera menemui Abu Bakar untuk menanyakan kebenaran berita tersebut, dan ia menceritakan apa yang dialaminya dengan Rahib Nashrani di Bushra, Syam. Mereka berdua segera menemui Nabi SAW. Ketika ia menceritakan peristiwa dengan Rahib Nashrani di Bushra, Rasulullah SAW sangat gembira atas pembenaran sang Rahib dan makin menguatkan tekad beliau untuk terus mendakwahkan Islam, apapun resikonya. Thalhah sendiri seketika itu memeluk Islam, sesuai dengan yang disarankan oleh sang Rahib tersebut.
Sebagaimana para pemeluk Islam pada masa awal, ia tak terlepas dari penyiksaan dan teror dari para pembesar dan pemimpin kaum Quraisy untuk mengembalikannya ke agama jahiliah, padahal ia seorang hartawan dan terpandang di antara kaumnya. Setelah keislamannya diketahui oleh orang-orang Quraisy, Nufail bin Khuwailid, salah seorang pembesar yang terkenal dengan sebutan ‘Singa Quraisy’ mencari-cari dirinya. Mereka bertemu Thalhah sedang berjalan dengan Abu Bakar yang segera saja keduanya ditangkap dan disiksa. Mereka berdua diikat dengan satu tambang, kemudian diancam dan diintimidasi. Tetapi mereka tidak berani bertindak terlalu keras dan kejam karena khawatir dengan pembalasan dari kabilahnya Abu Bakar dan Thalhah. Setelah berbagai ancaman dilakukan, dari yang halus hingga keras tidak juga berhasil, akhirnya mereka melepaskannya kembali. Karena peristiwa ini, Abu Bakar dan Thalhah disebut sebagai ‘Al Qarinain’, artinya dua setangkai.
Thalhah juga mengalami penyiksaan dari ibunya sendiri, Sha’bah binti Hadramy, saudara dari seorang sahabat Nabi SAW, Ala’ bin Hadramy. Tangan Thalhah diikatkan pada lehernya, kemudian diarak berkeliling di jalan-jalan kota Makkah, diikuti rombongan keluarganya. Ibunya mengikuti di belakangnya sambil mencaci maki dirinya. Walau disakiti dan dipermalukan oleh orang yang sangat dicintai dan dihormatinya, keyakinan dan keimanannya tidak bergeming. Bagaimanapun juga Allah SWT dan Nabi SAW lebih dicintainya daripada ibu dan sanak keluarganya yang lain.
Thalhah bin Ubaidillah termasuk dalam as sabiqunal awwalin (kelompok yang pertama memeluk Islam), ia juga salah satu dari sepuluh sahabat yang memperoleh berita gembira masuk surga ketika hidupnya. Sembilan lainnya adalah empat sahabat Khulafaur Rasyidin, Abdurrahman bin Auf, Sa'd bin Abi Waqqash, Sa'id bin Zaid, Zubair bin Awwam dan Abu Ubaidah bin Jarrah.
Pada waktu turun surah Al Ahzab ayat 23,"…Di antara orang-orang mukmin itu terdapat sejumlah laki-laki yang memenuhi janji-janji mereka terhadap Allah. Di antara mereka ada yang memberikan nyawanya, sebagian yang lain sedang menunggu gilirannya. Dan tak pernah mereka merubah pendiriannya sedikitpun…!"
Nabi SAW menyapukan pandangannya kepada para sahabat yang berkumpul, ketika menatap pada Thalhah, beliau bersabda, "Siapa yang ingin melihat seseorang yang masih berjalan di muka bumi, tetapi ia telah menyerahkan nyawanya (kepada Allah, maksudnya syahid), hendaklah ia memandang kepada Thalhah…"
Setelah hijrah ke Madinah, Thalhah hampir tidak pernah tertinggal berjuang bersama Rasulullah SAW, kecuali pada Perang Badar. Pada perang ini Thalhah dan Sa'id bin Zaid dikirimkan Nabi SAW untuk tugas mata-mata ke suatu tempat. Namun demikian beliau memasukkannya sebagai Ahlu Badar dan memberi mereka bagian dari ghanimah perang Badar. Ada delapan orang sahabat yang tidak secara langsung terlibat dalam perang Badar tetapi Nabi SAW menempatkannya sebagai Ahlu Badar sebagaimana pahlawan Badar lainnya, yang mendapat pujian dalam Al Qur'an. Selain Thalhah dan Sa'id bin Zaid, adalah Utsman bin Affan, Abu Lubabah, Ashim bin Adi, Harits bin Hathib, Harits bin Shimmah dan Khawwat bin Jubair R.Hum.
Seolah ingin menebus ketertinggalannya di perang Badar, Thalhah ingin mencurahkan kemampuan dan semangat perjuangannya di Perang Uhud. Pada awal pertempuran, pasukan kafir Quraisy centang-perenang digempur oleh semangat jihad kaum muslimin, termasuk Thalhah, yang tidak mau jauh dari posisi Nabi SAW. Peranan 50 pemanah di atas bukit yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair, sangat menentukan sisi pertahanan pasukan muslim. Nabi SAW telah berpesan kepada mereka untuk tidak meninggalkan posisi tersebut, menang atau kalah, sampaibeliau sendiri yang memerintahkannya.
Setelah pasukan Quraisy kocar-kacir meninggalkan arena pertempuran dan meninggalkan banyak sekali barang-barangnya, pasukan pemanah ini sebagian besar tergiur untuk mengambil barang rampasan. Ibnu Jubair berteriak mengingatkan akan pesan Nabi SAW, tetapi mereka tidak menggubrisnya. Empat puluh pemanah meninggalkan posnya untuk berebut harta rampasan perang. Mengetahui keadaan itu, pasukan berkuda Quraisy yang dipimpin Khalid bin Walid berbalik lagi menaiki bukit, dan sepuluh pemanah yang tertinggal tidak berdaya menghadangnya sehingga mereka syahid semua. Pasukan Quraisy lainnya mengikuti jejak Khalid menyerang pasukan muslim. Kondisi jadi berbalik, bahkan posisi Nabi SAW jadi terancam.
Beliau mencoba menghimpun pasukan muslim di sekitarnya, dan hanya tujuh orang Anshar dan dua Muhajirin yang sempat melindungi beliau ketika gelombangpasukan Quraisy mendekati posisi Nabi SAW. Satu persatu sahabat Anshar menghadang serangan mereka, sementara dua sahabat Muhajirin pasang badan melindungi Nabi SAW dari serangan yang mengarah pada beliau. Sa'dbin Abi Waqqash menyerbu dengan panahnya dengan gencar, sampai Nabi SAW perlu membantu mengulurkananak panah kepadanya. Sedangkan Thalhah bin Ubaidillah menghadang para penyerang Nabi SAW dengan pedangnya. Kekuatan sangat tidak berimbang, satu persatu sahabat Anshar gugur, bahkan Nabi SAW terluka, padahal beliaumemakai baju besi. Tinggallah Thalhah dan Sa'd bertahan mati-matian melindungi Nabi SAW agar beliau tidak terkena senjata secara langsung. Namun demikian beliau sempat terjatuh ke dalam lobang dan darah mengucur daripipi dan kening beliau, sehingga penyerang-penyerang tersebut sempat meneriakkan kalau Nabi SAW telah wafat.
Untunglah tidak berapa lama sekelompok sahabat berhasil menerobos kepungan dan berhimpun di sekitar Nabi SAW. Yang pertama sampai adalah Abu Bakar, kemudian Abu Ubaidah bin Jarrah dan menyusul beberapa sahabat lainnya, termasuk seorang sahabat wanita, Ummu Ammarah (Nashibah atau Nushaibah binti Ka'b). Tetapi pada saat yang sama, Thalhah roboh di hadapan Nabi SAW karena terlalu banyak luka-luka pada tubuhnya. Makin banyak sahabat yang berhasil datang dan melindungi sehingga orang-orang kafir tersebut gagal memenuhi targetnya untuk membunuh Nabi SAW.
Ketika Nabi SAW memerintahkan Abu Bakar dan Abu Ubaidah memeriksa keadaan Thalhah, terdapat tujuh puluh luka-luka sobekan dan tusukan, tetapi nyawanya masih bisa terselamatkan.
Jika Abu Bakar menceritakan saat-saat kritis Nabi SAW di perang Uhud, yang hampir saja beliau terbunuh, ia selalu berkata, "Hari itu keseluruhannya adalah milik Thalhah…."
Thalhah adalah seorang pejuang yang tangguh di medan-medan pertempuran yang diterjuninya, tetapi ia juga seorang pengusaha yang trampil dan bertangan dingin, sehingga harta dari hasil perniagaannya melimpah ruah. Bakat dagang ini telah dimilikinya sejak masa jahiliah. Seolah telah disiapkan untuk jadi ahlul jannah, kekayaan yang dikumpulkannya lebih banyak digunakan untuk membantu orang-orang yang memerlukannya. Sejak lama ia dikenal sebagai "Thalhah al Khair (Thalhah yang baik hati)" atau juga "Thalhah al Jud (Thalhah si Penyantun)".
Ketika di Madinah, ia pernah terlihat begitu sedih dan berduka. Istrinya, Su'da bin Auf RA menanyakan sebab kesedihannya tersebut, maka Thalhah berkata, "Soal harta yang kita miliki ini, semakin hari semakin banyak saja, sehingga menyusahkan dan menyempitkan hatiku…."
Karena istrinya juga didikan Islam yang dipenuhi keimanan, ia berkata, "Bagi-bagikan sajalah kepada kaum muslimin yang memerlukannya!!"
Thalhah bangkit berdiri dan memanggil orang-orang untuk berkumpul di rumahnya, dan membagikan hartanya kepada mereka sehingga tidak tersisa, walaupun hanya satu dirham.
Pernah juga ia berhasil menjual tanahnya dengan harga tinggi sehingga harta bertumpuk di rumahnya, maka mengalirlah air matanya, dan ia berkata, "Sungguh, jika seseorang 'dibebani' bermalam dengan harta sebanyak ini dan tidak tahu apa yang akan terjadi, pastilah akan mengganggu ketentraman ibadahnya kepada Allah…!"
Malam itu juga ia memanggil beberapa sahabatnya dan membawa harta tersebut berkeliling di jalan-jalan di kota Madinah untuk membagikan kepada yang memerlukan. Sampai fajar tiba belum habis juga, dan diteruskansetelah shalat subuh hingga menjelang siang. Ia baru merasa lega setelah tidak tersisa lagi walau hanya satu dirham.
Berlalulah waktu, Rasulullah wafat dan digantikan Abu Bakar, Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar. Selama itu irama hidupnya tidak banyak berbeda, memanggul senjata untuk menegakkan panji Islam atau menjalankan perniagaannya. Selama itu pula ia terus menunggu kapan penantiannya akan berakhir? Kapan "syahid" yang berjalan di muka bumi (yakni dirinya, sebagaimana disebut Nabi SAW)akan menjadi benar-benar syahid?
Thalhah akhirnya menemui syahidnya di perang Jamal di masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Ironinya, dalam peperangan tersebut ia bersama Zubair bin Awwam dan Ummil Mukminin Aisyah memimpin pasukan dari Bashrahuntuk melakukan perlawanan kepada Ali bin Abi Thalib, dengan dalih menuntut balas kematian Utsman. Padahal beberapa waktu sebelumnya mereka ikut memba'iat Ali sebagai khalifah. Inilah memang dahsyatnya bahaya fitnah, sehingga orang-orang terpilih di masa Rasulullah SAW saling berperang satu sama lainnya.
Ada perbedaan pendapat tentang syahidnya Thalhah. Satu riwayat menyebutkan, ketika pertempuran mulai berlangsung dan dari kedua pihak berjatuhan korban tewas, Ali menangis dan menghentikan pertempuran, padahal saat itu posisinya dalam keadaan menang. Ali meminta kehadiran Thalhah dan Zubair untuk melakukan islah. Ali mengingatkan Thalhah dan Zubair berbagai hal ketika bersama Rasulullah SAW, termasul ramalan-ramalan beliau tentang mereka bertiga. Thalhah dan Zubair menangis mendengar penjabaran Ali dan seolah diingatkan akan masa-masa indah bersama Rasulullah SAW. Apalagi saat itu mereka melihat Ammar bin Yasir ikut bergabung dalam pasukan Ali. Masih jelas terngiang di telinga mereka sabda Nabi SAW ketika kerja bakti membangun masjid Nabawi, "Aduhai Ibnu Sumayyah (yakni, Ammar bin Yasir), ia akan terbunuh oleh kaum pendurhaka…..!!"
Kalau terus memaksakan pertempuran ini, jangan-jangan mereka menjadi "kaum pendurhaka" tersebut. Thalhah dan Zubair memutuskan menghentikan pertempuran dan ia menyarungkan senjatanya, kemudianberbalik menemui pasukannya. Tetapi ada anggota pasukan yang tidak puas dengan keputusan ini dan merekamemanah dan menyerang keduanya hingga tewas. Sebagian riwayat menyebutkan penyerangnya dari pasukan Ali, riwayat lain dari pasukan Bashrah sendiri.
Sedangkan riwayat lain menyebutkan, pertempuran berlangsung seru dan pasukan Bashrah dikalahkan oleh pasukan Ali, Thalhah dan Zubair bin Awwam gugur menemui syahidnya.