Abdullah Bin Abbas Ra
Abdullah bin Abbas masih sepupu Nabi SAW sendiri walaupun usianya berbeda jauh, ia putra dari Abbas bin Abdul Muthalib, paman beliau. Ia hidup dan bergaul bersama Rasulullah SAW ketika masih anak-anak. Ia berhijrah ke Madinah pada tahun 5 hijriah ketika berusia 8 tahun. Ia berangkat bersama kakaknya, Fadhl bin Abbas RA dan seorang budaknya, Abu Rafi. Mereka sempat tersesat di Rakubah sebelum akhirnya sampai di kediaman Bani Amr bin Auf dan masuk ke Madinah.
Suatu ketika Nabi SAW menariknya mendekat, menepuk-nepuk bahunya dan berdoa untuknya, "Ya Allah, berilah ia ilmu agama yang mendalam, ajarkanlah kepadanya ta'wil (yakni, ilmu tentang tafsir Al Qur’an) ." (Allahumma, faqqihu fiddiin, wa 'allimu fit ta'wiil).
Doa ini diulangi beberapa kali oleh Nabi SAW ketika beliau bertemu Ibnu Abbas, sehingga ia benar-benar menjadi orang yang sangat mendalam ilmu agamanya dan menjadi ahli tafsir Al Qur'an.
Abdullah bin Abbas memang selalu menghadiri majelis pengajaran Nabi SAW, dan menghafalkan apa yang beliau sampaikan. Ketika berusia 10 tahun, ia telah mampu menghafal Al Qur'an hingga manzil (yang diturunkan) terakhir. Ketika Rasulullah wafat, ia berusia 13 tahun dan saat itu ia telah menjadi seorang ahli tafsir Al Qur'an yang diakui oleh para sahabat lainnya. Namun demikian ia tidak berhenti menggali dan mencari ilmu dari para sahabat-sahabat Nabi SAW yang terdahulu. Ia tidak segan memacu tunggangannya mengarungi padang pasir menemui seorang sahabat, yang tidak terkenal sekalipun, bila didengarnya ia pernah memperoleh pengajaran (atau suatu hadits) langsung dari Nabi SAW. Sungguh, kehausannya akan ilmu agama, apalagi yang bersangkutan dengan al Qur’an dan hadits Nabi SAW seakan tak pernah terpuaskan.
Suatu ketika Ibnu Abbas melihat Nabi SAW sedang shalat sunnah, segera saja ia berdiri di belakang beliau dan mengikuti shalat. Melihat Ibnu Abbas, beliau menarik tangannya hingga berdiri sejajar, kemudian meneruskan shalatnya. Tetapi Abdullah bin Abbas mundur selangkah sambil tetap meneruskan shalat. Setelah selesai shalat, Nabi SAW menanyakan kenapa ia mundur lagi ke belakang, Ibnu Abbas berkata, "Wahai Rasulullah, engkau adalah pesuruh Allah, bagaimana mungkin saya dapat berdiri sejajar denganmu."
Rasulullah SAW tersenyum, dan kembali mendoakannya seperti sebelumnya, yakni : Allahumma faqqihu fiddiin, wa 'allimu fit ta'wiil.
Seusai perang Hunain, Nabi SAW menyatakan bahwa sepeninggal beliau kelak, orang-orang Anshar akan mengalami perlakuan pilih kasih dari pihak yang berkuasa, hal ini terekam kuat dalam ingatannya walau saat itu ia masih kecil. Hal itu memunculkan tekad dalam hatinya untuk membela orang-orang Anshar jika saat itu tiba.
Pada masa khalifah Umar atau Utsman (perawi Abu Zinad ragu antara Umar atau Utsman), sekelompok sahabat, di antaranya Hasan bin Tsabit dan Abdullah bin Abbas, mewakili orang-orang Anshar meminta kepada khalifah agar memenuhi hajat kebutuhan mereka. Beberapa sahabat berdiri mengutarakan keutamaan orang-orang Anshar dan jasa-jasa mereka saat bersama Nabi SAW, dengan harapan khalifah bisa memenuhinya.
Kebutuhan orang-orang Anshar yang diperjuangkan saat itu memang nilainya cukup besar, sehingga khalifahpun memberikan berbagai argumen dan alasan, karena tidak bisa memenuhinya begitu saja. Beberapa orang sahabat akhirnya menerima alasan khalifah, termasuk sebagian sahabat Anshar. Tetapi ternyata Ibnu Abbas tidak mau menyerah begitu saja, selalu terngiang-ngiang “ramalan” Rasulullah SAW tentang ketidak-adilan yang akan dialami kaum Anshar. Ia akan merasa sangat bersalah jika ia melihat sisi ketidak-adilan tersebut muncul, dan tidak berbuat apa-apa untuk melawannya.
Tiba-tiba Ibnu Abbas berdiri dan dengan tegas ia mendebat semua argumentasi khalifah. Doa Nabi SAW,"Faqqihu fid diin wa 'allimu fit ta'wil" benar-benar mewujud dalam dirinya. Semua argumen dan alasan itu dapat dipatahkannya sehingga mau tidak mau khalifah memenuhi kebutuhan para sahabat Anshar tersebut. Ini bukan sikap menang-menangan, tetapi bagaimana mendudukkan masalah sehingga khalifah terhindar dari sikap pilih kasih, dan tetap berdiri di atas keadilan. Dan khalifah sendiri akhirnya menyadari, bukannya marah, tetapi justru ia berterima kasih atas nasehat yang diberikan Abdullah bin Abbas.
Hassan bin Tsabit, yang digelari sebagai ‘Penyair dan Pembela Rasulullah SAW’, berkata kepada para sahabat yang bersama-sama menghadap khalifah, "Demi Allah! Sesungguhnya ia (Ibnu Abbas RA) adalah yang paling utama di antara kalian, karena ia adalah sisa kenabian dan pewaris Ahmad SAW. Kesamaan ras dan kemiripan wataknya memberi petunjuk kepadanya."
Begitu juga yang terjadi dengan sahabat Abu Ayyub al Anshari. Sahabat Anshar ini menyediakan rumahnya untuk ditempati Nabi SAW ketika beliau pertama kali tiba di Madinah. Selama berbulan-bulan beliau tinggal di rumahnya sampai kaum muslimin selesai membangun Masjid Nabawi, dan rumah tinggal beliau di serambi masjid tersebut. Pada masa khalifah Muawiyah, ia mengalami masalah keuangan dan terlilit hutang. Ketika menghadap khalifah dan menyampaikan permasalahannya, ia tidak memperoleh apapun kecuali “nasehat” untuk bersabar, sebagaimana diramalkan Rasulullah SAW. Akhirnya ia berkunjung kepada Abdullah bin Abbas di Bashrah.
Ibnu Abbas menyambut kehadiran Abu Ayyub al Anshari dengan hangat. Ia membiarkan rumahnya ditempati Abu Ayyub dan semua kebutuhannya dipenuhi sehingga bisa menyelesaikan masalah hutangnya, bahkan masih banyak kelebihannya. Ibnu Abbas berkata kepada Abu Ayyub, "Aku akan berbuat baik kepadamu sebagaimana engkau telah berbuat baik kepada Rasulullah SAW.Aku dan keluargaku pindah dari rumah ini agar engkau bisa menempatinya, sebagaimana engkau dan keluargamu telah mengosongkan rumahmu untuk bisa ditinggali oleh Rasulullah SAW."
Pada masa tuanya, Ibnu Abbas menjadi buta. Suatu ketika ia masuk ke Masjidil Haram dengan dituntun oleh Wahab bin Munabbih. Ketika didengarnya beberapa orang bertengkar dengan suara keras, ia meminta Wahab membawanya ke sana. Ia memberi salam dan meminta ijin duduk. Setelah duduk, ia berkata, "Apakah kamu tidak mengetahui hamba-hamba Allah yang sebenarnya? Mereka adalah manusia yang tidak ingin berkata-kata karena takut kepada Allah, padahal ia tidak bisu bahkan sangat fasih tutur bahasanya, tetapi karena selalu sibuk memuji Allah dan mereka tidak dapat berkata yang sia-sia. Pada tingkat keimanan yang seperti itu, mereka selalu bersegera berbuat kebaikan, mengapa kalian menyimpang dari jalan itu?"
Mereka yang sedang bertengkar atau berdebat tersebut menjadi reda emosinya, dan meminta nasehat lebih banyak kepada Abdullah bin Abbas.
Sebagian riwayat menyebutkan, Abdullah bin Abbas memilih untuk menghabiskan masa hidupnya di Thaif, dan bukannya di Tanah Haram Makkah, walaupun sebenarnya ibadah atau kebaikan yang dilakukan di sana dilipat-gandakan sebanyak seratus ribu kali. Tetapi yang menjadi alasannya untuk tidak tinggal di Makkah, adalah sikap hati-hati (wara') dan rasa takutnya (khauf) kepada Allah SWT. Dalam pemikiran dan penafsiran Ibnu Abbas, orang-orang yang baru tersirat dan berniat saja untuk berbuat keburukan dan berada di Tanah Haram (Makkah dan Madinah), ia sudah jatuh dalam keburukan dan berdosa, bahkan bisa jadi dosanya sudah berganda sesuatu tingkat kekuatan niatnya. Padahal kalau di tanah halal, yakni diluar Makkah dan Madinah, niat saja belum jatuh dalam keburukan dan berdosa, jika ia belum merealisasikan niatnya tersebut. Bahkan bisa jadi ia memperoleh pahala jika ia membatalkan niatnya tersebut.
Sungguh suatu sikap hati-hati (wara’) dan takut kepada Allah SWT (khauf) yang tiada taranya. Padahal seorang sahabat “selevel” Ibnu Abbas, yang telah didoakan kebaikan oleh Nabi SAW, apa masih mungkin tersirat suatu niat untuk berbuat keburukan?? Tetapi itulah memang ciri khas para sahabat Nabi SAW, walaupun kebaikan dan jaminan keselamatan dari Nabi SAW telah mereka terima dari sabda-sabda beliau, tetapi mereka masih merasa 'tidak aman' dengan Makar Allah, sungguh suatu sikap tawadhu' yang patut diteladani.